Minggu, 07 Februari 2010

HIV/AIDS di Indonesia: Terimpit Stigma Hingga Ajal

SEPOTONG cerita duka disampaikan Baby Jim Aditya dengan suara bergetar. "Satu lagi penderita AIDS meninggal di hadapanku, dan aku tak bisa berbuat apa-apa," katanya kepada GATRA, Jumat siang pekan lalu. Perempuan penggiat masalah acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Tanah Air itu menambahkan dengan air mata berlinang: "Aku betul-betul sedih, nasib mereka sampai sekarang masih sangat menderita. Dikucilkan, dan akhirnya meninggal dalam sepi. Sedikit sekali yang peduli."

Baby, 40 tahun, sudah kerap mendampingi penderita AIDS dijemput ajal. Tapi, kematian Koko (sebut saja begitu), Sabtu pagi dua pekan lalu, sungguh menyentuh perasaannya. Maklumlah, kepergian Koko, 27 tahun, sangat mengenaskan. Pemuda drop out satu perguruan tinggi di Yogyakarta itu meninggal setelah lima hari dinyatakan positif mengidap AIDS. Lebih mengenaskan lagi, Koko sempat ditolak berobat oleh sejumlah rumah sakit, sebelum akhirnya meninggal di satu rumah sakit di Jakarta Utara.

Syahdan, Baby mendapat telepon dari orangtua Koko pada 5 Januari lalu. Sebagai Ketua Klub Partisipasi Kemanusiaan yang memberi bimbingan dan penyuluhan masalah AIDS, Baby sangat sering mendapat telepon dari keluarga penderita yang ingin berkonsultasi. Orangtua Koko bercerita perihal kondisi kesehatan Koko yang cepat drop pada sebulan terakhir. Baby menganjurkan Koko secepatnya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa.

Seperti sudah diduga Baby, hasil pemeriksaan menyatakan Koko terkena AIDS, yang disebabkan human immunodeficiency virus (HIV). Mengherankan sebetulnya, kok deteksi HIV/AIDS terhadap Koko amat terlambat, padahal status sosial ekonomi orangtuanya cukup bagus. Diduga, virus itu telah lama bercokol di tubuh inangnya, dan akhirnya berkembang menjadi mematikan lantaran sang inang teledor merawat kesehatannya. Harap maklum, Koko pecandu narkoba yang parah.

Warga Bekasi, Jawa Barat, itu pun dibawa ke rumah sakit untuk diopname. Malang, sejumlah rumah sakit tak mau menerima Koko. "Alasannya, rumah sakit bersangkutan tak punya sarana merawat penderita AIDS. Biasalah, cari-cari alasan," Baby menuturkan. Beruntung, satu rumah sakit di Jakarta Utara bersedia menampung. Saat ditengok Baby, 10 Januari lalu, beberapa jam setelah Koko dirawat, kondisi pemuda itu sudah amat parah.

Tubuhnya kurus kering. Lambungnya penuh luka digerogoti penyakit mag, mulut dan bibir dijejali sariawan sebesar kacang kedelai. Benjolannya merah dan dipenuhi nanah. Sepanjang hari, mata Koko tak dapat menutup. Menurut dokter yang merawat Koko, mata dan telinga Koko tak berfungsi lagi. Hilang sudah sisa-sisa ketampanan pemuda malang itu. Dengan suara tak jelas, Koko nyeracau menanyakan teman-temannya, kok tak ada yang menengoknya.

Baby ingin sekali menolong dia. Hal yang mendesak dilakukan adalah memberi penderita obat antiretroviral (ARV) guna meningkatkan kekebalan tubuh. Tapi, untuk mendapatkan obat cukup mujarab itu mesti waiting list dulu. Maka, bekas pemain teater yang kini menekuni usaha butik itu bergegas mengontak Dokter Samsuridjal Djauzi, mencoba jalur cepat.

"Tolong gue dong obat ARV. Ada yang lagi butuh banget nih, please," ibu dua anak itu meminta penuh harap. Baby memang akrab dengan Samsuridjal, yang juga Ketua Kelompok Studi Khusus AIDS, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Pokdisus AIDS FK-UI). Pokdisus merupakan distributor tunggal obat ARV generik yang diimpor dari India dan Thailand.

Sayang, Samsuridjal ketika itu sedang bersiap berangkat ke luar kota sehingga tak dapat memenuhi permintaan Baby, meski sang dokter berjanji mengusahakannya. Kondisi Koko terus memburuk. Besoknya, pukul 06.00, ia meninggal. Orangtua Koko kalang kabut. Dan, kata Baby, si orangtua mewanti-wanti semua pihak agar merahasiakan sebab kematian Koko sesungguhnya. "Fakta" yang dimunculkan, Koko menderita lever dan mag akut. Artinya, penderita AIDS masih saja dianggap pembawa aib yang mesti ditutup-tutupi.

Begitulah sekelumit kisah pilu pengidap HIV/AIDS yang sempat "direkam" Baby. Koko menambah panjang daftar penderita HIV/AIDS yang meninggal. Secara nasional, tentu hanya berdasarkan data yang masuk, ada 306 penderita HIV/AIDS yang meninggal hingga Desember lalu. Rekor tetap dipegang Papua dengan 177 jiwa yang melayang, disusul Jakarta (95) dan Jawa Timur (43). Angka-angka ini sangat mungkin cuma permukaan dari kondisi sebenarnya. Diyakini, korban HIV/AIDS yang "KO" sebetulnya jauh lebih banyak.

Di Tanah Air masih ada ratusan ribu, atau bahkan lebih banyak lagi, penderita penyakit mematikan itu yang mungkin bakal bernasib seperti Koko. Mereka terinfeksi, tapi alpa --atau sengaja alpa dengan segala motifnya-- kemudian merana, dan akhirnya mati sia-sia. Kalau orangtua Koko saja sampai lalai memeriksakan anaknya, bagaimana dengan keluarga penderita yang berasal dari golongan ekonomi lemah, yang notabene jumlahnya lebih banyak?

Itulah sebabnya, Zubairi Djoerban, Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia, melihat fenomena HIV/AIDS seperti gunung es: yang terlihat itu baru secuil. Sampai Agustus lampau, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan 100.000-120.000 orang. Jumlah ini tiap tahun akan terus membengkak. Angka estimasi Departemen Kesehatan ini jauh melampaui data resmi dari instansi yang sama, yang cuma 3.568 kasus per Desember 2002.

Tapi, menurut taksiran Zubairi, jumlah penderita sebenarnya mencapai 1,2 juta orang, yang disumbang terbanyak dari kalangan pecandu narkoba. Asumsinya, dari kalangan pemadat yang berjumlah 4 juta orang, diperkirakan 30% terjangkit HIV. Ini belum termasuk pengidap HIV akibat hubungan seksual. Juga bayi-bayi yang mewarisi "azab" itu dari ibunya.

Angka asumsi kasar ini sendiri diperoleh Zubairi dari temuannya di ruang praktek, dua tahun belakangan. Menurut hematolog dari FK-UI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, dari 30-50 pasien HIV/AIDS yang ditanganinya, sebanyak 80% pecandu narkoba. Sementara dari 45 pecandu narkoba yang memeriksakan darahnya, 30% positif HIV.

Bisa dimaklumi bila pecandu narkoba kebanyakan pengidap HIV potensial. Mereka menyebar virus mematikan itu lewat kebiasaan menggunakan jarum suntik bersama. Menurut estimasi Population Council dan Family Health International, 43% penyebaran HIV/AIDS berasal dari jarum suntik pemadat.

Maka, Zubairi amat khawatir akan nasib bangsa ini, mengingat cukup banyak penduduknya yang pecandu narkoba. "Indonesia sedang mengalami ledakan besar penderita HIV/AIDS akibat narkoba yang merajalela," kata dokter kelahiran Yogyakarta, 11 Februari 1947, itu kepada GATRA.

Kalau kekhawatiran ini beralasan, lalu bagaimana langkah antisipasi? Siapkah pemerintah menanggulanginya bersama-sama? Secara formal, pemerintah memang cukup peduli. Setidaknya, itu bisa dilihat dari dicanangkannya kembali Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS, April silam.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla, pemerintah terus berusaha keras menekan penyebaran AIDS. "Kampanye tentang AIDS tak hentinya dilakukan. Rumah sakit selalu terbuka 24 jam bagi penderita AIDS," kata Jusuf, yang juga Ketua Komisi Penanggulangan HIV/AIDS.

Benarkah? Kalau kampanye mungkin iya. Sikap rumah sakit yang terbuka? Tentu tak sepenuhnya betul. Satu buktinya, ya, nasib Koko yang sampai ditolak masuk rumah sakit itu. Kalaupun diterima pihak rumah sakit, biasanya penderita mendapat perlakuan menyakitkan. Pengalaman Muchlisin bisa dijadikan contoh.

Duda berusia 33 tahun itu terjangkit HIV dan dirawat di satu rumah sakit di Jakarta, beberapa tahun lampau. Begitu diketahui positif HIV, ia sempat diisolasi di kamar perawatan yang terkunci rapat. Perawat dan dokter melayaninya takut-takut lewat jendela kecil. "Sangat tidak manusiawi," tutur Muchlisin kepada GATRA.

Belum lama ini diberitakan, sejumlah rumah sakit di Banda Aceh menolak menerima pasien HIV/AIDS bernama Joylee Ernsting Sadller, perawat relawan berusia 57 tahun asal Amerika. Seperti dilaporkan koresponden GATRA Hendra Syahputra Malamsyah, Joylee akhirnya memilih bersakit-sakit di sel Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh. Celakanya pula, terpidana empat bulan penjara kasus penyalahgunaan visa itu nekat mogok makan sebagai aksi protes atas penahanannya. Kondisi tubuhnya terus melorot.

Memang berat nian beban pengidap HIV/AIDS. Sudah badan soak digerogoti virus mematikan, harus pula merana dikucilkan dan didiskriminasi, bahkan sampai ajal menjemput sekalipun. Penyebab kematian Koko, misalnya, sampai dirahasiakan keluarganya. Di Surabaya, Jawa Timur, ada jenazah penderita HIV/AIDS yang meninggal di rumah sakit cepat-cepat dimakamkan keluarganya. Alasannya, takut masyarakat marah dan mengamuk bila jenazah mampir ke rumah duka.

Semua itu gara-gara stigma atau stempel buruk yang melekat erat pada HIV/AIDS. Sebetulnya, seperti pernah dikemukakan Dokter Kartono Mohamad, stigma serupa melekat pada penyakit sampar dan lepra di masa silam. Namun, stigma HIV/AIDS menjadi lebih berat karena dikait-kaitkan dengan masalah moral: narkoba dan seks liar. Stigma itu menumbuhkan rasa malu amat sangat, rasa bersalah dan rasa tidak berharga bagi yang menyandangnya.

Akibatnya, tak ada orang yang mau tertular penyakit mengerikan ini. Ada dugaan pula, stigma buruk itu awalnya muncul lantaran HIV/AIDS gampang menular dan belum ada obatnya. Orang-orang jadi ngeri terjangkit. Dalam pandangan Baby Jim Aditya, itu semacam legitimasi untuk mengucilkan penderitanya. "Jelas sikap itu salah. Penderita HIV/AIDS justru butuh pertolongan, bukan dikucilkan," Baby menyesalkan.

Apa boleh buat, penderita HIV/AIDS, meski belum tentu akibat narkoba dan seks, selalu disalahkan. Penelitian di Amerika tahun 1997 menunjukkan, sebagian besar responden menganggap para penderita HIV/AIDS bertanggung jawab sepenuhnya atas penyakit mereka. Andreas Pundung, pengidap HIV/AIDS asal Bekasi, pernah dicemooh penelepon interaktif saat tampil di satu stasiun televisi di Jakarta, Desember silam. Waktu itu, ia dengan "pede" alias percaya diri memberikan testimoni pengalamannya.

"Saya cuma ingin mengatakan, Anda memang pantas kena HIV karena kelakuan buruk Anda," kata si penelepon, seperti diutarakan Andreas kepada GATRA. Duda berusia 25 tahun ini terkena HIV akibat kecanduan narkoba. Istrinya, juga pemadat, meninggal ketika Andreas mendekam di sel kantor polisi lantaran terlibat perampokan.

Bagaimana reaksi Andreas atas telepon pedas yang tidak sempat disensor pengarah acara tersebut? "Saya kaget dan sedih. Saya mengharapkan pengertian dan dukungan masyarakat agar saya tegar dan merasa berguna, kok malah dicemooh. Tapi, saya berusaha tidak larut," kata Andreas, yang rambutnya dicat kuning.

Cap buruk itu pula yang mendorong si penderita dan keluarganya menyimpan erat rahasia penyakitnya. Malah, tidak jarang, pihak keluarga ikut-ikutan mengucilkan si penderita. Biasalah, keluarga besar tak mau dikotori aib memalukan. Padahal, dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan. Andreas membuktikan itu. Berkat kasih sayang dan dorongan ibunya yang tulus, Andreas yang tadinya putus asa akhirnya bangkit semangat hidupnya.

Masih sedikit sekali pengidap HIV/AIDS yang berani tampil terus terang. Di Indonesia, keterusterangan ini mungkin dipelopori Didi Mirhad. Model ganteng ini dengan mantap membeberkan deritanya itu kepada pers, tahun 1998. Sayangnya, waktu itu kondisi Didi sudah demikian parah karena terlambat terdeteksi. Didi akhirnya meninggal dunia.

Menurut Baby Jim Aditya, sikap terus terang ala Didi Mirhad sangat diperlukan sebagai upaya mendobrak stigma buruk tadi. Sehingga diharapkan, kelak orang yang merasa berpotensi mengidap HIV/AIDS tidak ragu-ragu memeriksakan diri. Soalnya, meski ketahuan orang banyak, toh tidak perlu khawatir dihukum secara sosial lagi. Keuntungannya, penyakit tersebut cepat terdeteksi sehingga dapat segera diupayakan antisipasinya. "Keluarga pun akan men-support dengan dada lapang," kata Baby.

Mungkin harapan ini ibarat jauh panggang dari api. Di negara maju saja, stigma itu masih melekat. Tapi, seperti dikatakan Baby lagi, kalau tidak dimulai dengan cara yang lugas, perubahan dan harapan itu tak akan pernah ada.